Senin, 15 Agustus 2022

Sepenggal Kisah

     Ia menoleh menatapku yang tengah duduk diantara pilar bebatuan sembari menenggelamkan wajahku. Aku menatapnya puluhan menit yang lalu ketika ia masih memunggungiku dipilar pojok kanan, dan sekarang aku merasa dia menatapku lama. Aku tak tahu siapa dia dan apa maksudnya menatapku lama bahkan menungguku dari satu jam yang lalu dengan aku yang duduk seperti pengemis. Berlalu lalang manusia ciptaan Tuhan menatapku bergidik, dan aku tidak peduli sama sekali. Aku menyerah mempedulikan manusia, bahkan untuk bertanya 'mengapa dia menatapku?' padanya saja aku enggan. 

    Biarkan saja. 

    Aku tidak peduli dengan kata manusia ciptaan Tuhan. Belum ada yang mampu membuatku percaya dari satu tahun lalu. Mengingat hal itu selalu membuatku meneteskan air mata. Seolah-olah memang pantas aku mendapatkannya. Tapi aku berpikir kembali, mungkin saja aku pernah melukai orang lain hingga saat ini karmaku tiba. Hanya saja, mengingat bahwa aku manusia, sulit hanya bermodalkan kalimat itu dalam otakku.

    Mataku terpejam kuat meneteskan air yang tersisa kemudian mengangkat wajahku, mendongak menatap ujung pilar yang sekarang menjadi sandaranku sembari mendengus. Selalu saja ku lakukan ketika aku tidak baik-baik saja dan mencoba baik-baik saja. Aku menoleh menatap sepasang mata yang kini tak berkedip menatapku. Benar saja, bukan? Pemuda itu menatapku dengan eskpresi kasihan dengan kaki kiri bertumpu pada pilar dan sepasang tangan masuk ke saku jaket yang ia kenakan. 

    Aku membuang muka tak ingin menatapnya terlalu lama. Aku manusia yang benci di kasihani. Aku memeluk lututuku sendiri dan memunggunginya. Aku tak mengerti, bagaimana bisa dia hanya menatapku ketika banyak orang yang duduk di tangga Museum of Art di New York? Apa mereka tak ada yang menarik dimatanya? Padahal banyak gadis cantik yang duduk di tangga dan tertawa bersama teman-temannya. Tapi dia memilih memperhatikan aku yang hanya menempel di bawah pilar museum seperti pengemis tak makan satu bulan. Aku merasa bahwa dia seseorang yang berasal dari negara yang sama denganku.

    Aku tak ingin menyebutkan negaraku. 

    Tidak penting, bukan?

    Yang jelas, aku sedang sulit menerima kenyataan hidup dan memilih menjadi pengemis di negara tetangga seperti saat ini. Aku tidak akan menceritakan apapun tentang hidupku ditulisan ini. Akan banyak yang bertanya-tanya "Mengapa", bukan? Aku juga ingin bertanya, "mengapa aku harus menceritakannya?" dan aku yakin banyak yang mendengar akan bungkam.

    Keadaanku tidak bisa dikatakan baik di negara tetangga ini. Aku bahkan di usir dari penginapan beberapa saat lalu, dan itu yang membuatku dilihat banyak pasang mata di museum ini. Apalagi kalau bukan karena koper dan tas yang berada di bawah kakiku?

    "Kenapa terus menatapku?" tanyaku tiba-tiba pada pemuda yang aku yakini masih dibelakangku dan bahkan lebih dekat sekarang.

    Dia diam.

    Aku mendengus kesal, merasa bahwa dia mempermainkanku dan secara tidak langsung mengejekku. Air mataku jatuh merasa bahwa... bagaimana menjelaskannya? Tiba-tiba jantungku terasa sesak kemudian tak lama ada sesuatu yang membuncah keluar. Aku terisak pelan tak ingin menarik perhatian lebih banyak lagi.

    Tiba-tiba aku merasakan tangan kokoh memelukku dari belakang dan menenggelamkan wajahnya diceruk leherku.

    Apa yang dia lakukan?

    Tapi, bukannya menolak, justru aku menggenggam tangannya erat tak ingin dia dia melepaskan pelukannya. 

    "I miss you, Catrin," bisik pemuda itu.

    Aku tersentak sembari mengerjapkan mata beberapa kali sebelum menyadari siapa pemuda ini. Hanya dia yang memanggilku begitu. Pemuda yang 12 tahun seolah-olah hilang tertelan bumi. Tidak ada kabar darinya sama sekali. 

    Dia...

    Aku mencintainya.

    "Arcello, miss you."

    Aku tidak pernah bisa menahan tangis di depannya dan aku juga tak pernah bisa menahan rasa bahagia bersamanya. 

    "I feel like I'll die if you're not around."

    "I'm so sorry. I'm here with you now. I love you, Catrin. Forgive me."

    "Where are you going all this time?" tanyaku mengeratkan pelukannya dengan tanganku, "I hate when you're gone."

    "Ada banyak hal yang tidak perlu kamu ceritakan. Dan banyak hal pula yang tidak bisa aku ceritakan," Ujarnya membuatku merasa aku tidak pernah menjadi bagian darinya, "Can we make a small family? And i will tell you all about my past."

    Aku mengangguk menyetujui.

    Aku tahu pilihan ini sangat berat untuknya maupun aku sendiri. 

    Bukan hal yang tabu, bukan, jika permasalahan kami berkaitan dengan seseorang yang sangat dekat dengan diri kita?

    Yang memberikan kebutuhan materi.

    Ya. Keluarga.

Senin, 29 Oktober 2018

KECUALI MENJADI BAGIAN


Kecuali menjadi Bagian

Alkeera tersentak saat sebuah suara memanggilnya lantang pertanda peringatan. Ia kontan menoleh mendapati Kak Rusi, keamanan pesantren putri, berdiri di ambang pintu kelas membuat dirinya gelagapan. Kontan ia menutup buku tebalnya seraya beranjak dari tempatnya duduk. Keringat dinginnya bercucuran  karena gugupnya dia. Walaupun sudah sering seperti ini, selalu saja seolah menjadi yang utama.
“Jam berapa sekarang?” tanya Kak Rusi dingin terkesan acuh seraya melipat tangannya geram.
Mau tak mau Alkeera menoleh, menatap jam dinding yang terpasang disana. Sejenak dia tersentak karena jarum pendek menunjuk pada angka 12. Ia menatap Kak Rusi takut. Sudah berulang kali kesalahan yang sama terjadi dan membuat Kak Rusi marah.
Ia menunduk takut, “maaf, Kak. Saya khilaf.” sesalnya munafik. Selalu saja seperti itu alasannya.
Kak Rusi menatapnya tajam mengidentifikasi, “khilaf?” tanyanya meremehkan, “sering kali kamu lakukan hal ini, dan kamu katakan maaf?”
Alkeera terdiam, tetap merunduk.
“kamu sudah melakukan hal yang sama selama lebih dari 4 kali dalam seminggu, Alkeera!” bentak Kak Rusi, “sekali lagi kamu lakukan hal yang sama, dari pihak pengurus akan menghukum kamu dengan hukuman berbeda!” ancamnya.
Alkeera mengangguk pasrah menyetujui kalimat Kak Rusi.
Alkeera Asy-Syiffa’. Santriwati berprestasi yang selalu meraih juara dalam bidang olahraga. Menjuarai tenis lapanan adalah hobinya, sampai berulang kali memborong juara satu. Selain itu, ia juga hobi dalam bidang menulis, sampai berulang kali juga mendapat kejuaraan dalam lomba kepenulisan. Namun, otaknya terlalu bebal untuk mendengar kalimat kritikan dan saran yang baik dari orang lain. prinsipnya adalah, kamu ya kamu, aku ya aku. Ini aku, kamu nggak suka, ya terserah. Telinganya selalu lari saat jemarinya mulai memegang pena beralas buku. Alhasil, dia selalu saja tidak jama’ah subuh karna tidurnya yang larut malam. Kalau saja dia tidak berprestasi, pasti dia sudah di damprat dari pesantren.
Tok... tok... tok...
“man hadzihi?” tanya Maura seraya mengetuk pintu kamar mandi.
Seseorang yang ada di dalam kamarmandi mematikaan krannya kemudian kembali bertanya, “ma?” tanyanya.
“man hadzihi?”
“Alya.” Setelah menjawab, Alya kembali menyalakan kran kembali.
“Ad-dauru liman ba’da hadza?”
“laa a’rif.”
“kam nafaron tastakhimu ba’daki?”
“laa a’rif.”
Mendengar jawaban Alya, kening Maura mengarnyit, “do you can hear me?”
Alya terdiam lama sebelum akhirnya menjawab, “i’m so sorry. But.... no.” Jawabnya percaya diri.
Maura mendengus,”AKU. MAURA. SETELAHMU!”teriaknya
Jarak antara kamar mandi dan kamarnya sangatlah dekat, jadi ia memutuskan untuk menungggu di kamar. Setibanya dikamar, ia menatap jam dinding yang kini menunjukkan jam 3 pagi. Karna rutinitas paginya menyuci dan mandi, ia menganbil detergen dan baju kotornya kemudian menaruhnya di ember.dan itu akan menjadi hal lain jika rutinitas itu gagal. Ia akan menggantinya malam hari bersama Alya.
“Maura,”panggil seseorang yang tak lain adalah Alkeera membuat jantung Maura berdetak tanpa santai.
Maura menoleh ke arah suara mendapati Alkeera yang duduk di ranjang memegang sebilah papan yang di catnya. Ia hafal, jika mata Alkeera masih bening di pagi buta seperti ini, maka sudah divonis bahwa manusia itu tidak tidur.
“kenapa kamu belum tidur?”tanya Maura seraya mendekati ranjang Alkeera dan duduk di bibir ranjang.
Alkeera menatap Maura meminta. Bukannya menjawab pertanyaan Maura, ia malah berkata bahwa dia ingin berubah dari kebiasaannya yang membuat seseantero pesantren pusing karna ulahnya. Dari dulu ia sudah merencanakan semua itu tanpa adanya bimbingan dari siapapun. Membuat jadwal pribadi mengubah diri, namun sifat malasnya mendominasi setiap kali keinginan itu ada.
“aku nggak mau, Maura, meninggalkan nama buruk saat aku pergi dari sini nantinya.”Alkeera   mendengus,”bayangkan saja jika aku meninggalkan nama buruk disini. Setiap orang menggunjingku dengan keburukanku. Aku hanya ingin paling tidak reputasiku membaik. Tujuan di pesantren itu untuk berbuat lebih baik dalam kata lain menyucikan hati. Nah, coba lihat. Kontras banget kan sama realita?”
Maura mengangkat sebelah alisnya, “lalu?kalau kamu sudah tau realita kamu kontras sama apa yang kamu lakuin, kenapa kamu nggak mencoba dari dulu?” tanyanya menghakimi.
 Raksi Alkeera hanya nyengir,”puasin dulu, apa salahnya?”
“sekarang udah puas? Gitu maksud kamu?”
Wajah Alkeera pias seketika, “nggak ada orang yang puas mempermalukan diri sendiri, Maura.” Ia mendengus kemudian tersenyum, “tapi aku bersyukur karna aku pernah melakukannya. Agar aku menyadari, tidak ada manusia yang hidup tanpa kesalahan,”
Maura mengangguk paham. Apa yang Alkeeera katakan membuat dirinya yakin bahwa Alkeera benar-benar ingin berubah. Ia mengangguk saat Alkeera meminta dirinya menjadi tutor pribadinya. Ia beranjak menuju almarinya kemudian memberikan kopi sachet dan roti untuk dimakan dan diminum agar Alkeera tidak mengantuk saat pelajaran di sekolah. Paling tidak untuk hari ini, dan mereka akan merubah rencana selanjutnya nanti saat Alkeera jauh lebih siap.
Perlahan kebiasaan buruk Alkeera hilang, diganti dengan hal yang lebih positif. Saat pulang sekolah tiba, dia, Maura, dan Alya selalu menghabiskan waktu di belakang di belakang pondok mencari tempat yang sepi untuk menghafal imrithi. Selain itu, mereka juga menanam berbagai macam bunga hanya untuk mengisi waktu luang saraya belajar. Mereka juga membuat bunga dari plastik yang mereka setrika kemudaian mereka bentuk sesuka hati. Tidak hanya itu, mereka juga membuat sebilah papan menjadi berbagai macam benda yang berguna, seperti hiasan atau wadah. Ia selalu mengingat kata-kata Maura yang menohoknya ketika ia melanggar aturan jama’ah;
“apa susahnya, sih, mengikuti aturan, Al?!” tanya Maura membentak jengkel karna kelakuan Alkeera yang tidak jama’ah dan masbuk berkali-kali, “kalau dengan kamu mengikuti aturan itu kamu akan rugi, apa jadinya kamu diakhirat nanti, hm? Dunia itu fana, Alkeera. Nggak ada kekekalan di dunia. Semua itu hanya bersifat sementara. Dan apa? Kamu memberatkan kepentingan dunia hanya karna kamu ingin kebebasan, begitu? Aku nggak pernah tau jalan fikir kamu yang terlalu rumit untuk aku nalar. Kamu berkata kamu ingin berubah seolah kamu menginginkan permen yang kemudian kamu buang begitu saja setelah kamu mendapatkannya. Kamu pikir cari uang itu gampang? Kamu pikir pesantren itu untuk mainan apa? Kalau kamu memenag tidak peduli pada keadaan yang memberatkanmu, paling tidak kamu berfikir tentang reputasi orang tuamu. Pikirkan perasaan ibu yang melahirkanmu. Dan pikirkan ayah yang mencari uang untuk biaya pesantrenmu. Lalu, kamu dengan mudahnya membuang dengan sia-sia pengorbanan orang tuamu, begitu? Bagus Alkeera, kamu berhasil membuat orang tuamu kecewa dengan sikapmu.”
Setiap malam, Alkeera selalu mengambil wudhu dan mulai melakukan sholat malam. Sholat Taubat 6 rakaat untuk menyesali perbuatan salahnya. Sholat Hajjat untuk meminta kesabaran dan hal positif lainnya. Dan Sholat Istikharah agar dia diberi petunjuk yang terang pada jalan-Nya. Setelah semua itu usai, Alkeera tidur dalam sunnah Rasul.  Kali ini ia tak mau menyia-nyiakan kebaikan Allah Swt yang telah memberikannya hidup sampai saat ini. Ia akan memanfaatkan kebaikan Maura dan Alya dalam hal positif.
Sepertiga malam dia selalu melaksanakan Sholat Tahajjud untuk berdo’a agar dia mendapat perlindungan. Setelahnya ia melakukan aktivitas seperti biasa, hanya saja sebagian besar waktunya ia gunakan dalam kebaikan. Ia selalu membawa nadhom kemanapun dia pergi dan mampir ke tempat sepi untuk menghafal. Namun, masih saja ada yang tidak menyukai dirinya.
Amara. Teman satu kamar yang sangat membencinya. Hanya karna iri dengan Alkeera yang kini menjadi sorotan seseantero pesantren karna keberhasilannya bertransformasi.
Bertepatan pada hari santri, semua santri diwajibkan mengikuti upacara dilapanganyang jauh dengan pesantren kecuali Alkeera yang dimintatinggal untuk membersihkan dan mencuci pakaian Dalem. Ia menurut, karna bagaimanapun sekarang dia lebih dipercaya daripada pengurus sekalipun. Ia segera mengambil baju-baju kotor kemudian memasukkannya dalam mesin cuci tanpa menunggu waktu lebih lama. Karna tidak ingin membuang waktu terlalu banyak, ia degera menyapu dan mengepel semua ruang serta mengganti keset yang ada di depan semua pintu. Walaupun hanya benda kecil, tapi tidak liput dengan najis. Ya, itulah keset.
Ia juga membuang sampah yang hampir penuh maupun sudah penuh. Halterakhir yang dilakukannya setelah menjemur pakaian adalah memasak. Bukan tanpa alasan dia memasak diDalem, Ibu Nyai memang memintanya untuk memasak sebelum dia pergi. Beliau berpesan, sebelum Pak Kyai dan Ibu Nyai pulang, harus sudah ada makan siang di rumah. Setelah semua usai, iapergi ke kamar kemudian tidur.
Ia terbangun saat seseorang menepuk pelan lengannya sesekali menggoyahkannya. Ia mengerjap beberapakali menetralkan penglihatannya. Manusia yang pertamakali dilihat adalah Amara yang menangis di depannya dan meminta maaf atas semua kelakuannya. Alhasil Alkeera mengangguk mengiyakan. Ia tersenyum melihatAmara yang mengakui kesalahannya. Ia tersentak saat amara mengajaknya menemui kakaknya, mau tak mau dia mengangguk, meski sedikit ragu. Alhasil, mereka berdua menemui pemuda tampan berdiri di kantor. Amara memperkenalkan Alkeera dengan mengklaim bahwa mereka teman baik. Apapun yang dilakukan Alkeera tidak luput hanya mengangguk dan tersenyum.
Setelah usai, ia kembali ke kamar mengisi kegiatan dengan menulis cerita yang menjadi hobinya dari dulu. Ia juga beranjak menuju tenpat sepi dan kembali menghafal daripada tidak ada kegiatan yang bermanfaat lainnya. Tak lupa ia menyiram tanamannya di belakang pondok yang sekarang mulai di penuhi bunga.
Dan saat ia kembali, ia mendapati Dina berlari menyongsongnya kemudian berkata bahwa Ibu Nyai mencarinya. Sesegera mungkin ia lengsung beranjak ke Dalem karna tak mau Ibu Nyai menunggunya terlalu lama. Dengan firasat yang tidak baik, ia menghadap Pak Kyai dan Ibu Nyai di dalam ruang tamu. Tepat saat dia bersimpuh, Bu Nyai memberikan tuduhan behwa Alkeera mencuri cincinnya. beliau juga memberikan foto yangmenampilkan wajah Alkeera sendiri bersama pemuda yang dia tau kakak Amara. Dan sekarang diatau, dia masuk perangkap Amara. Dan tuduhan itu di perkuat oleh Amara sendiri saat Pak Kyai meminta Amara ikut serta menjadi saksi.keputusan terakhir adalah, Alkeera dihukum dalam kamarpengasingan selama 1minggu dan menghafal 5 juz pertama selama 2 bulan. Mau tidak mau, ingin tidak ingin, semua sudah menjadi keputusan.
“kenapa kamu ngelakuin ini?” hakim Maura saat berkunjung ke kamar Alkeera dan mendapati Alkeera sedang mencoba menghafal.
Kamar itu sempit dengan 1 kamar mandi dan 1 WC. Tidak ada ranjang, hanya dengan kasur lantai saja. Bahkan dindingnya pun masih batubata yang menonjol. Belum di lapis apapun, masih kasar.
Alkeera mengedikkan bahu, “anggap saja ini semacam kebahagiaan yang Allah kasih ke aku dengan cara berbeda. Dan lagipula, aku menganggap ini sebagai hukumanku di dunia karna aku nggak pernah patuh pada peraturan.” Ia melanjutkan hafalannya.
Alya mendecak gemas campur jengkel, “Ck. Iya. We know. But why?!” tekannya, “kenapa kamunggak bilang sejujurnya? Buat apa kamu ngelakuin ini? Dan... apalagi kamu tau siapa pelakunya. C’mon,Alkeera.”
Alkeera menghentikan hafalannya, “Rasul mengajarkan umatnya untuk bersabar. Dan ini saatnya aku mempraktekkannya.” Katanya tenang, “dan kenapa aku nggak bilang? Karna masih adayang lebihtau daripada aku. Mereka tau atau tidak tau itu bukan urusanku. Yang penting Allah tau, itu sudah lebih dari cukup untukku. Lagipula, aku nggak punya buktinya.”
“Alkeera, this is stupid, you know that?!” balas Maura, “coba kamu lihat, ruangan ini sempit dan nggak nyaman untuk di tempati.”
Alkeera tersenyum, “agar aku tau arti kesederhanaan. Agar aku tau, Allah lebih berkuasa daripadanya.”tekannya penuh keyakinan.
Alya menepuk keningnya, “bahkan temboknya masih batu bata, Alkeera.”
“agar aku sadar, dunia bukan keabadian.”
“dan kamar mandinya kotor, Alkeera.”
“agar aku paham, tidak ada yang lebih bersih dari hati.”
“dan kalau ada hantunya gimana?” Alya bergidik ngeri.
Alkeera masih tersenyum, “kuasa Allah lebih daripadanya.”
Maura mendengus seraya memegang tangan Alkeera, “kamu benci Amara?”
“Allah menciptakan manusia agar mereka bersatu dan saling menyayangi bukan membenci.” Jawab Alkeera.
Alya mengernyit, “kenapa? Kenapa kamu nggak benci sama dia sedangkan dia sebaliknya.”
“karna dia manusia ciptaan Allah dan aku juga. Jika aku membenci ciptaan Allah, sama saja dengan aku membenci diriku sendiri. Dan jika aku membenci diriku sendiri, secara tidak langsung aku membenci Allah.” Tutut Alkeera runtut tidak ingin temannya salah paham, “apapun yang terjadi, kembalikan semuanya pada Allah.”
Alya terperangah, “subhanallah. Kenapa kamu jadi seperti ini, sih?”
“karna aku tidak lupa, untuk apa Allah memberikan hati kepada manusiAlkeera menempelkan kertas bertulis satu ayat pengingat didinding kamar renungnya. Hari-harinya di kamar hanya menghafal, makan, mandi, tidur, dan bangun. Begitu seterusnya. Namun sedikitpun dia tidak mengeluh. Dia tak ingin membuang waktunya sia-sia hanya dengan menangis merenungi nasib yang tidak memihak padanya. Ia ingin menunjukkan pada dunia, keunikan santri tidak hanya dapat dilihat dari perbuatan dzohirnya saja. Masih ada hati untuk bersabar, masih ada pikiran untuk berfikir positif, danmasih ada iman yang selalu mendukung dalam kebaikan.
Seminggu berlalu. Hukuman ini menyadarkan Alkeera pada dunia, bahwa Allah masih mempunyai kehendak lebih dari ini. Ia yakin, Allah sedang menguji kesabarannya. Dan dia masih bertahan sampai seseorang menepuk pipinya pelan memintanya bangun. Matanya mengerjap sesaat sebelum akhirnya ia melihat Amara menangis dihadapannya dan meminta maaf atas perbuatannya. Ia mengangguk pasti membalas kalimat Amara. Amara berkata bahwa dia di panggil Bu Nyai agar menghadap di Dalem.
Semua sudah terungkap. Amara sudah mengakui kesalahannya pada Ibu Nyai dan Pak Kyai. Dan menimpakan hukuman yang sama padanya, hanya waktunya saja yang lebih lama. Namun, Alkeera menolak. Jika seseorang sudah bertaubat, kenapa harus dihukum? Alkeera sudah memaafkan Amara dan cincin Bu Nyai juga sudah kembali. Jadi, tidak ada alasan lagi kenapa Amara dihukum. Semua sudah usai. Dan untuk menghormati peraturan pesantren, Ibu Nyai meminta Amara menghafal 5 juz utama setelah beliau menyetujui permintaan Alkeera.
Setelahnya Alkeera mengajari Amara cara menghafal yang mudah. Duduk di pinggiran sungai adalah pilihannya. Alasan dari itu, Alkeera berkata, air sumber yang sangat berharga selain matahari, menenangkan dan menyejukkan. Siapapun yang menatapnya dan menghayati alirannya seraya mensyukurinya, hati akan lebih damai seolah tidak ada yang lain.
Santri.
 Berteman dengan rasa sakit.
Bersabar dengan tawakal.
 Mencintai dunia dengan kesederhanaan.
 Dan mengembalikan semua urusan dunia pada pencipta.