Kecuali menjadi Bagian
Alkeera
tersentak saat sebuah suara memanggilnya lantang pertanda peringatan. Ia kontan
menoleh mendapati Kak Rusi, keamanan pesantren putri, berdiri di ambang pintu
kelas membuat dirinya gelagapan. Kontan ia menutup buku tebalnya seraya
beranjak dari tempatnya duduk. Keringat dinginnya bercucuran karena gugupnya dia. Walaupun sudah sering
seperti ini, selalu saja seolah menjadi yang utama.
“Jam berapa
sekarang?” tanya Kak Rusi dingin terkesan acuh seraya melipat tangannya geram.
Mau tak mau
Alkeera menoleh, menatap jam dinding yang terpasang disana. Sejenak dia
tersentak karena jarum pendek menunjuk pada angka 12. Ia menatap Kak Rusi
takut. Sudah berulang kali kesalahan yang sama terjadi dan membuat Kak Rusi
marah.
Ia menunduk
takut, “maaf, Kak. Saya khilaf.” sesalnya munafik. Selalu saja seperti itu
alasannya.
Kak Rusi
menatapnya tajam mengidentifikasi, “khilaf?” tanyanya meremehkan, “sering kali
kamu lakukan hal ini, dan kamu katakan maaf?”
Alkeera
terdiam, tetap merunduk.
“kamu sudah
melakukan hal yang sama selama lebih dari 4 kali dalam seminggu, Alkeera!”
bentak Kak Rusi, “sekali lagi kamu lakukan hal yang sama, dari pihak pengurus
akan menghukum kamu dengan hukuman berbeda!” ancamnya.
Alkeera
mengangguk pasrah menyetujui kalimat Kak Rusi.
Alkeera
Asy-Syiffa’. Santriwati berprestasi yang selalu meraih juara dalam bidang
olahraga. Menjuarai tenis lapanan adalah hobinya, sampai berulang kali
memborong juara satu. Selain itu, ia juga hobi dalam bidang menulis, sampai
berulang kali juga mendapat kejuaraan dalam lomba kepenulisan. Namun, otaknya
terlalu bebal untuk mendengar kalimat kritikan dan saran yang baik dari orang
lain. prinsipnya adalah, kamu ya kamu, aku ya aku. Ini aku, kamu nggak suka, ya
terserah. Telinganya selalu lari saat jemarinya mulai memegang pena beralas
buku. Alhasil, dia selalu saja tidak jama’ah subuh karna tidurnya yang larut
malam. Kalau saja dia tidak berprestasi, pasti dia sudah di damprat dari
pesantren.
Tok...
tok... tok...
“man
hadzihi?” tanya Maura seraya mengetuk pintu kamar mandi.
Seseorang
yang ada di dalam kamarmandi mematikaan krannya kemudian kembali bertanya,
“ma?” tanyanya.
“man
hadzihi?”
“Alya.”
Setelah menjawab, Alya kembali menyalakan kran kembali.
“Ad-dauru
liman ba’da hadza?”
“laa a’rif.”
“kam nafaron
tastakhimu ba’daki?”
“laa a’rif.”
Mendengar
jawaban Alya, kening Maura mengarnyit, “do you can hear me?”
Alya terdiam
lama sebelum akhirnya menjawab, “i’m so sorry. But.... no.” Jawabnya percaya
diri.
Maura
mendengus,”AKU. MAURA. SETELAHMU!”teriaknya
Jarak antara
kamar mandi dan kamarnya sangatlah dekat, jadi ia memutuskan untuk menungggu di
kamar. Setibanya dikamar, ia menatap jam dinding yang kini menunjukkan jam 3
pagi. Karna rutinitas paginya menyuci dan mandi, ia menganbil detergen dan baju
kotornya kemudian menaruhnya di ember.dan itu akan menjadi hal lain jika
rutinitas itu gagal. Ia akan menggantinya malam hari bersama Alya.
“Maura,”panggil
seseorang yang tak lain adalah Alkeera membuat jantung Maura berdetak tanpa
santai.
Maura
menoleh ke arah suara mendapati Alkeera yang duduk di ranjang memegang sebilah
papan yang di catnya. Ia hafal, jika mata Alkeera masih bening di pagi buta
seperti ini, maka sudah divonis bahwa manusia itu tidak tidur.
“kenapa kamu
belum tidur?”tanya Maura seraya mendekati ranjang Alkeera dan duduk di bibir
ranjang.
Alkeera
menatap Maura meminta. Bukannya menjawab pertanyaan Maura, ia malah berkata
bahwa dia ingin berubah dari kebiasaannya yang membuat seseantero pesantren
pusing karna ulahnya. Dari dulu ia sudah merencanakan semua itu tanpa adanya bimbingan
dari siapapun. Membuat jadwal pribadi mengubah diri, namun sifat malasnya
mendominasi setiap kali keinginan itu ada.
“aku nggak
mau, Maura, meninggalkan nama buruk saat aku pergi dari sini
nantinya.”Alkeera mendengus,”bayangkan
saja jika aku meninggalkan nama buruk disini. Setiap orang menggunjingku dengan
keburukanku. Aku hanya ingin paling tidak reputasiku membaik. Tujuan di
pesantren itu untuk berbuat lebih baik dalam kata lain menyucikan hati. Nah,
coba lihat. Kontras banget kan sama realita?”
Maura
mengangkat sebelah alisnya, “lalu?kalau kamu sudah tau realita kamu kontras
sama apa yang kamu lakuin, kenapa kamu nggak mencoba dari dulu?” tanyanya
menghakimi.
Raksi Alkeera hanya nyengir,”puasin dulu, apa
salahnya?”
“sekarang
udah puas? Gitu maksud kamu?”
Wajah
Alkeera pias seketika, “nggak ada orang yang puas mempermalukan diri sendiri,
Maura.” Ia mendengus kemudian tersenyum, “tapi aku bersyukur karna aku pernah
melakukannya. Agar aku menyadari, tidak ada manusia yang hidup tanpa
kesalahan,”
Maura mengangguk paham. Apa yang Alkeeera katakan membuat
dirinya yakin bahwa Alkeera benar-benar ingin berubah. Ia mengangguk saat
Alkeera meminta dirinya menjadi tutor pribadinya. Ia beranjak menuju almarinya
kemudian memberikan kopi sachet dan roti untuk dimakan dan diminum agar Alkeera
tidak mengantuk saat pelajaran di sekolah. Paling tidak untuk hari ini, dan
mereka akan merubah rencana selanjutnya nanti saat Alkeera jauh lebih siap.
Perlahan
kebiasaan buruk Alkeera hilang, diganti dengan hal yang lebih positif. Saat
pulang sekolah tiba, dia, Maura, dan Alya selalu menghabiskan waktu di belakang
di belakang pondok mencari tempat yang sepi untuk menghafal imrithi. Selain
itu, mereka juga menanam berbagai macam bunga hanya untuk mengisi waktu luang
saraya belajar. Mereka juga membuat bunga dari plastik yang mereka setrika
kemudaian mereka bentuk sesuka hati. Tidak hanya itu, mereka juga membuat
sebilah papan menjadi berbagai macam benda yang berguna, seperti hiasan atau
wadah. Ia selalu mengingat kata-kata Maura yang menohoknya ketika ia melanggar
aturan jama’ah;
“apa
susahnya, sih, mengikuti aturan, Al?!” tanya Maura membentak jengkel karna
kelakuan Alkeera yang tidak jama’ah dan masbuk berkali-kali, “kalau dengan kamu
mengikuti aturan itu kamu akan rugi, apa jadinya kamu diakhirat nanti, hm?
Dunia itu fana, Alkeera. Nggak ada kekekalan di dunia. Semua itu hanya bersifat
sementara. Dan apa? Kamu memberatkan kepentingan dunia hanya karna kamu ingin
kebebasan, begitu? Aku nggak pernah tau jalan fikir kamu yang terlalu rumit
untuk aku nalar. Kamu berkata kamu ingin berubah seolah kamu menginginkan
permen yang kemudian kamu buang begitu saja setelah kamu mendapatkannya. Kamu
pikir cari uang itu gampang? Kamu pikir pesantren itu untuk mainan apa? Kalau
kamu memenag tidak peduli pada keadaan yang memberatkanmu, paling tidak kamu
berfikir tentang reputasi orang tuamu. Pikirkan perasaan ibu yang melahirkanmu.
Dan pikirkan ayah yang mencari uang untuk biaya pesantrenmu. Lalu, kamu dengan
mudahnya membuang dengan sia-sia pengorbanan orang tuamu, begitu? Bagus
Alkeera, kamu berhasil membuat orang tuamu kecewa dengan sikapmu.”
Setiap
malam, Alkeera selalu mengambil wudhu dan mulai melakukan sholat malam. Sholat
Taubat 6 rakaat untuk menyesali perbuatan salahnya. Sholat Hajjat untuk meminta
kesabaran dan hal positif lainnya. Dan Sholat Istikharah agar dia diberi
petunjuk yang terang pada jalan-Nya. Setelah semua itu usai, Alkeera tidur
dalam sunnah Rasul. Kali ini ia tak mau
menyia-nyiakan kebaikan Allah Swt yang telah memberikannya hidup sampai saat
ini. Ia akan memanfaatkan kebaikan Maura dan Alya dalam hal positif.
Sepertiga
malam dia selalu melaksanakan Sholat Tahajjud untuk berdo’a agar dia mendapat
perlindungan. Setelahnya ia melakukan aktivitas seperti biasa, hanya saja
sebagian besar waktunya ia gunakan dalam kebaikan. Ia selalu membawa nadhom
kemanapun dia pergi dan mampir ke tempat sepi untuk menghafal. Namun, masih
saja ada yang tidak menyukai dirinya.
Amara. Teman
satu kamar yang sangat membencinya. Hanya karna iri dengan Alkeera yang kini
menjadi sorotan seseantero pesantren karna keberhasilannya bertransformasi.
Bertepatan
pada hari santri, semua santri diwajibkan mengikuti upacara dilapanganyang jauh
dengan pesantren kecuali Alkeera yang dimintatinggal untuk membersihkan dan
mencuci pakaian Dalem. Ia menurut,
karna bagaimanapun sekarang dia lebih dipercaya daripada pengurus sekalipun. Ia
segera mengambil baju-baju kotor kemudian memasukkannya dalam mesin cuci tanpa
menunggu waktu lebih lama. Karna tidak ingin membuang waktu terlalu banyak, ia
degera menyapu dan mengepel semua ruang serta mengganti keset yang ada di depan
semua pintu. Walaupun hanya benda kecil, tapi tidak liput dengan najis. Ya,
itulah keset.
Ia juga
membuang sampah yang hampir penuh maupun sudah penuh. Halterakhir yang
dilakukannya setelah menjemur pakaian adalah memasak. Bukan tanpa alasan dia
memasak diDalem, Ibu Nyai memang
memintanya untuk memasak sebelum dia pergi. Beliau berpesan, sebelum Pak Kyai
dan Ibu Nyai pulang, harus sudah ada makan siang di rumah. Setelah semua usai,
iapergi ke kamar kemudian tidur.
Ia terbangun saat seseorang menepuk pelan lengannya sesekali
menggoyahkannya. Ia mengerjap beberapakali menetralkan penglihatannya. Manusia
yang pertamakali dilihat adalah Amara yang menangis di depannya dan meminta
maaf atas semua kelakuannya. Alhasil Alkeera mengangguk mengiyakan. Ia
tersenyum melihatAmara yang mengakui kesalahannya. Ia tersentak saat amara
mengajaknya menemui kakaknya, mau tak mau dia mengangguk, meski sedikit ragu.
Alhasil, mereka berdua menemui pemuda tampan berdiri di kantor. Amara
memperkenalkan Alkeera dengan mengklaim bahwa mereka teman baik. Apapun yang
dilakukan Alkeera tidak luput hanya mengangguk dan tersenyum.
Setelah
usai, ia kembali ke kamar mengisi kegiatan dengan menulis cerita yang menjadi
hobinya dari dulu. Ia juga beranjak menuju tenpat sepi dan kembali menghafal
daripada tidak ada kegiatan yang bermanfaat lainnya. Tak lupa ia menyiram
tanamannya di belakang pondok yang sekarang mulai di penuhi bunga.
Dan saat ia kembali, ia mendapati Dina berlari
menyongsongnya kemudian berkata bahwa Ibu Nyai mencarinya. Sesegera mungkin ia
lengsung beranjak ke Dalem karna tak
mau Ibu Nyai menunggunya terlalu lama. Dengan firasat yang tidak baik, ia
menghadap Pak Kyai dan Ibu Nyai di dalam ruang tamu. Tepat saat dia bersimpuh,
Bu Nyai memberikan tuduhan behwa Alkeera mencuri cincinnya. beliau juga
memberikan foto yangmenampilkan wajah Alkeera sendiri bersama pemuda yang dia
tau kakak Amara. Dan sekarang diatau, dia masuk perangkap Amara. Dan tuduhan
itu di perkuat oleh Amara sendiri saat Pak Kyai meminta Amara ikut serta
menjadi saksi.keputusan terakhir adalah, Alkeera dihukum dalam kamarpengasingan
selama 1minggu dan menghafal 5 juz pertama selama 2 bulan. Mau tidak mau, ingin
tidak ingin, semua sudah menjadi keputusan.
“kenapa kamu
ngelakuin ini?” hakim Maura saat berkunjung ke kamar Alkeera dan mendapati
Alkeera sedang mencoba menghafal.
Kamar itu
sempit dengan 1 kamar mandi dan 1 WC. Tidak ada ranjang, hanya dengan kasur
lantai saja. Bahkan dindingnya pun masih batubata yang menonjol. Belum di lapis
apapun, masih kasar.
Alkeera
mengedikkan bahu, “anggap saja ini semacam kebahagiaan yang Allah kasih ke aku
dengan cara berbeda. Dan lagipula, aku menganggap ini sebagai hukumanku di
dunia karna aku nggak pernah patuh pada peraturan.” Ia melanjutkan hafalannya.
Alya
mendecak gemas campur jengkel, “Ck. Iya. We
know. But why?!” tekannya, “kenapa kamunggak bilang sejujurnya? Buat apa
kamu ngelakuin ini? Dan... apalagi kamu tau siapa pelakunya. C’mon,Alkeera.”
Alkeera
menghentikan hafalannya, “Rasul mengajarkan umatnya untuk bersabar. Dan ini
saatnya aku mempraktekkannya.” Katanya tenang, “dan kenapa aku nggak bilang?
Karna masih adayang lebihtau daripada aku. Mereka tau atau tidak tau itu bukan
urusanku. Yang penting Allah tau, itu sudah lebih dari cukup untukku. Lagipula,
aku nggak punya buktinya.”
“Alkeera, this is stupid, you know that?!” balas
Maura, “coba kamu lihat, ruangan ini sempit dan nggak nyaman untuk di tempati.”
Alkeera
tersenyum, “agar aku tau arti kesederhanaan. Agar aku tau, Allah lebih berkuasa
daripadanya.”tekannya penuh keyakinan.
Alya menepuk
keningnya, “bahkan temboknya masih batu bata, Alkeera.”
“agar aku
sadar, dunia bukan keabadian.”
“dan kamar
mandinya kotor, Alkeera.”
“agar aku
paham, tidak ada yang lebih bersih dari hati.”
“dan kalau
ada hantunya gimana?” Alya bergidik ngeri.
Alkeera masih
tersenyum, “kuasa Allah lebih daripadanya.”
Maura
mendengus seraya memegang tangan Alkeera, “kamu benci Amara?”
“Allah
menciptakan manusia agar mereka bersatu dan saling menyayangi bukan membenci.”
Jawab Alkeera.
Alya
mengernyit, “kenapa? Kenapa kamu nggak benci sama dia sedangkan dia
sebaliknya.”
“karna dia
manusia ciptaan Allah dan aku juga. Jika aku membenci ciptaan Allah, sama saja
dengan aku membenci diriku sendiri. Dan jika aku membenci diriku sendiri,
secara tidak langsung aku membenci Allah.” Tutut Alkeera runtut tidak ingin
temannya salah paham, “apapun yang terjadi, kembalikan semuanya pada Allah.”
Alya
terperangah, “subhanallah. Kenapa
kamu jadi seperti ini, sih?”
“karna aku tidak lupa, untuk apa Allah memberikan hati
kepada manusiAlkeera menempelkan kertas bertulis satu ayat pengingat didinding
kamar renungnya. Hari-harinya di kamar hanya menghafal, makan, mandi, tidur,
dan bangun. Begitu seterusnya. Namun sedikitpun dia tidak mengeluh. Dia tak
ingin membuang waktunya sia-sia hanya dengan menangis merenungi nasib yang
tidak memihak padanya. Ia ingin menunjukkan pada dunia, keunikan santri tidak
hanya dapat dilihat dari perbuatan dzohirnya saja. Masih ada hati untuk
bersabar, masih ada pikiran untuk berfikir positif, danmasih ada iman yang selalu
mendukung dalam kebaikan.
Seminggu berlalu. Hukuman ini menyadarkan Alkeera pada
dunia, bahwa Allah masih mempunyai kehendak lebih dari ini. Ia yakin, Allah
sedang menguji kesabarannya. Dan dia masih bertahan sampai seseorang menepuk
pipinya pelan memintanya bangun. Matanya mengerjap sesaat sebelum akhirnya ia
melihat Amara menangis dihadapannya dan meminta maaf atas perbuatannya. Ia
mengangguk pasti membalas kalimat Amara. Amara berkata bahwa dia di panggil Bu
Nyai agar menghadap di Dalem.
Semua sudah terungkap. Amara sudah mengakui kesalahannya pada
Ibu Nyai dan Pak Kyai. Dan menimpakan hukuman yang sama padanya, hanya waktunya
saja yang lebih lama. Namun, Alkeera menolak. Jika seseorang sudah bertaubat,
kenapa harus dihukum? Alkeera sudah memaafkan Amara dan cincin Bu Nyai juga
sudah kembali. Jadi, tidak ada alasan lagi kenapa Amara dihukum. Semua sudah
usai. Dan untuk menghormati peraturan pesantren, Ibu Nyai meminta Amara
menghafal 5 juz utama setelah beliau menyetujui permintaan Alkeera.
Setelahnya Alkeera mengajari Amara cara menghafal yang
mudah. Duduk di pinggiran sungai adalah pilihannya. Alasan dari itu, Alkeera
berkata, air
sumber yang sangat berharga selain matahari, menenangkan dan menyejukkan.
Siapapun yang menatapnya dan menghayati alirannya seraya mensyukurinya, hati
akan lebih damai seolah tidak ada yang lain.
Santri.
Berteman dengan
rasa sakit.
Bersabar dengan tawakal.
Mencintai dunia
dengan kesederhanaan.
Dan mengembalikan
semua urusan dunia pada pencipta.
good story, i'm was reading in my self.
BalasHapusgo ahead,make another story again. oke!!!
"tidak ada yang lebih bersih dari hati" , "apapun yang terjadi, kembalikan semua pada Allah" .saya bacanya sampai merinding. Cerpen dg pesan" kehidupan yg bermakna. Semangat terus untuk berkarya!
BalasHapusTerus belajar, sama-sama belajar.
BalasHapus:v
HapusJoosss
BalasHapusKesederhanaan. Yes
BalasHapushikz hikz,terharu,11 12 mgkin ceritanya dg anak ibuk ��,,selalu banyak cinta untukmu nak
BalasHapusSlalu banyak cara yg hadir untuk membuatmu menjadi lebih baik. Semangat Laa
BalasHapusSukses sll buat mbk laili...
BalasHapusMantul !!
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapuscan we make it into a short movie?
BalasHapusi hope we can...
Mantap jiwa
BalasHapusSemangat tantoel.. dan carilah ilmu bukan karena kamu ingin mendapatkan sesuatu tapi kamu mencari ilmu karena Allah,karena didunia ini hanyalah.. maya bukan nyata..semangat tantoel
BalasHapusMantull
BalasHapusGood job and good luck mbak bro
BalasHapusGo leli go
BalasHapusHeeee.. aku mbrebes miliiii .-.
BalasHapuslanjutkaaannn!!!
Da best :)
BalasHapussipp, bagus.
BalasHapusselama masih bisa bernafas, lanjutkanlah berkarya. ;D
Semangat selalu untuk menulis .. :D
BalasHapus